CACA adalah anak pindahan dari Bintaro. Ia tinggal di Kota Pahlawan sejak tiga tahun yang lalu. Ia tinggal di kota besar itu karena ayahnya dipindahtugaskan di kota tersebut. Caca duduk di bangku kelas 3 SMA. Sebulan terakhir ia mendapatkan surat kaleng yang berwarna merah, berisi puisi-puisi yang indah dan ditulis dengan tinta merah, serta diselimuti amplop merah bergambar setengah hati. "Siapa yang mengirim surat ini ?" Caca bertanya-tanya.
Surat itu selalu terpampang di teras rumah Caca tepat pukul 15.30, setiba pulang dari sekolah. Setiap malam Caca membaca dan meresapi semua puisi-puisi yang indah itu. "Aku punya ide!" Akhirnya muncul sebuah ide di pikirannya. Sengaja hari ini Caca absen sekolah karena ingin memantau rumahnya dari pengirim surat misterius itu.
Tiga jam sudah Caca menunggu, namun orang yang ditunggu tak juga muncul. Ternyata Caca kalah pintar dengan orang misterius itu. "Maunya apa sih orang itu? Ditungguin nggak muncul-muncul, eeee....kalau nggak ditunggu malah hadir!" omelnya.
Tak terasa kini genap juga usianya 17 tahun. Orang tuanya tak lupa membuat pesta untuk anak semata wayangnya. Anehnya, ia malah menangis dan memampakkan wajah kusut di hari ulang tahun.
"Sayang, kamu kenapa, Nak?" tanya ibu dengan gelisah.
"Nggak, Ma...," jawab Caca, namun air matanya tak berhenti bercucuran.
"Apa karena surat kaleng itu? Sudah sayang, jangan terlalu dipikirkan," ibunya berusaha menenangkanya. Ibu tunggu di depan ya, semua teman-teman kamu sudah datang tuh." Sang ibu pun beranjak meninggalkan Caca. Sedangkan Caca masih terus menangis. Hatinya hancur.
Dua jam berlalu dengan cepat, tumpukan kado semakin meninggi. Pesta ulang tahun telah lenyap dari mata Caca. Kini ia sendirian duduk di ayunan taman dengan keheningan malam serta tetesan air mata yang belum terhenti. "Petok... petok... petok." Ponsel Caca berbunyi.Caca membuka satu pesan yang baru ia terima. "HAPPY BIRTHDAY CACA, aku tunggu kamu di taman kota, tiga tahun yang lalu kita bertemu. Semoga kamu masih ingat." Begitu isi SMS yang Caca terima. Dengan sigap Caca mengingat semua memori tiga tahun yang lalu. "Ya Allah...," Ia teringat akan satu kejadian.
Tanpa berpikir panjang, Caca menuju garasi dan menaiki Mio putih yang baru dibelikan orang tuanya. Hanya butuh waktu lima menit, ia tiba di taman kota tersebut. Terlihat seorang laki-laki duduk di bangku taman dengan memakai syal putih, jins hitam, dan kaus hijau muda yang menempel di tubuhnya. Serta lilin yang berpijar berbentuk kata I LOVE YOU mengelilinginya. Tidak tertinggal sebuah kue tar berwarna pink yang manis dan indah terpampang di sebelahnya. Caca mendekat, "Siapa kamu? Apa maksud semua ini?".
"Leon," satu jawaban yang terlontar dari bibir laki-laki itu. Jawaban itu membuat Caca terkapar lemas dan air matanya mulai membanjiri pipinya. Kini semua pertanyaan dalam benak Caca akhirnya mendapat jawaban dengan jelas.
Laki-laki itu bukanlah Leon yang sesungguhnya. Dia mendekat dan berusaha menenangkan Caca dengan mengajak duduk Caca di bangku yang sudah disiapkan. "HAPPY BIRTHDAY, CA." Kata-kata itu terlontar serta diiringi senyum manis.
"Mana Leon?" Pertanyaan itu terlontar keluar dari bibir Caca. "Dia sudah tenang di alam sana," Jawaban itu membuat Caca terus mengeluarkan air mata yang hampir membasahi gaun bagian atasnya.
"Leon menitipkan tiga puluh satu surat untuk kamu. Dia juga berpesan kalau hanya kamu bidadari hatinya, sebelum dia pergi untuk selamanya. Sengaja aku kirim surat itu tepat pukul 15.30 agar kamu yang menerimanya langsung," Mendengar semua itu, hati Caca bagaikan butiran-butiran pasir yang diterjang ombak laut.
"Aku memang bodoh, bodoh sekali! Sekarang tolong antarkan aku ke makam Leon," pintanya.
Sesampainya di sana, Caca berdoa sambil menangis dan meminta maaf di hadapan makam Leon. "Andai dulu aku tidak menyuruh Leon mati pada hari ulang tahunku yang ke-17, mungkin ini semua tidak akan pernah terjadi. Aku terlalu emosi pada waktu itu sehingga ingin sebuah permintaan bodoh ia kabulkan." Semua air mata Caca seakan terkuras.
"Sudahlah, Ca. Leon hanya ingin menunjukkan betapa besar cintanya kepadamu." Laki-laki itu mencoba menenangkan Caca yang dari tadi menangis. Caca sadar telah menyia-nyiakan seseorang yang begitu mencintainya, bahkan rela mengorbankan nyawanya.
Esok harinya Caca diantar oleh sahabat Leon ke alamat tempat keluarga Leon tinggal. Caca bermaksud menjelaskan semua permasalahan serta meminta maaf kepada seluruh keluarga Leon. Dengan besar hati, keluarga Leon menerima Caca dengan baik serta memberikan maaf kepada Caca. Hari ini semua permasalahan sudah selesai dengan jelas dan lancar. Caca pun berjanji tidak akan pernah lupa akan semua pengorbanan Leon kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar